Sunday 27 May 2018

Sajak yang tumbuh di dalam Rumah Putih

“Wahai orang-orang yang tumbuh dalam sebuah rumah dan yang memiliki rumah di antara keluasan hatinya, berbahagialah karena kenangan telah menjelma menjadi sajak pada setiap hati.
Sepertinya, tempat untuk melelapkan diri yang terbaik adalah pada sebuah Rumah,
Rumah yang telah menyatu dengan hidup kita sendiri.
Rumah yang…”

Penggunaan prolog dan epilog dalam sebuah buku pada mulanya tidak dimaksudkan untuk menjadi pengantar dan penutup dari sebuah karya. Pasangan prolog dan epilog awalnya merupakan sisipan atau lampiran pada karya sastra, terkhusus pada drama.

Prologos pada masa Yunani kuno memiliki posisi yang jauh lebih penting bila dibandingkan dengan prolog di masa modern, sebab ia berperan memberi penjelasan atas adegan-adegan yang akan disajikan.

Prolog pada sebuah karya sastra berisi satu atau beberapa keterangan atau pendapat penulis mengenai naskah yang akan disajikan. Karena itu, tugas utama dari sebuah prolog adalah membeberkan situasi dalam naskah sehingga membangkitkan minat pembaca atas isi dari naskah tersebut.

Jika prolog menjadi pembuka, maka penutupnya disebut epilog. Pada umumnya, epilog berisi amanat atau kesimpulan sebuah naskah. Dari epilog inilah pembaca memetik hikmah dari sebuah naskah yang telah disajikan penulis. Karena itu, dalam epilog pembaca akan mudah menemukan pesan-pesan moral, tatanilai, maupun ferleksi tentang hidup dan kehidupan.

Prolog dan epilog dengan fungsinya masing-masing tentu saja memegang peran yang penting dan berbeda dalam penyajian sebuah karya. Karena itu, keduanya ditulis secara jelas dan tuntas agar menjadi pelengkap dan penyempurna atas karya yang disajikan penulis.

Kutipan yang mendahului tulisan ini adalah sebuah epilog yang menjadi lembar terakhir pada sebuah antologi puisi. Membaca bagian “Rumah yang …” membuat kita sadar bahwa epilog yang dituliskan belumlah selesai. Lantas mengapa dicantumkan dalam buku tersebut?

Sebagian pembaca mungkin akan menjadi gelisah dan mulai menerka tentang kalimat lanjutan dari epilog tersebut. Bagaimana tidak, sehimpun puisi telah ditulis oleh tiga generasi dari sebuah keluarga yang hidup serumah dan menyisakan sebuah epilog yang tak tuntas.

Jika seseorang datang kepada saya dan bertanya tentang buku yang berkesan dalam hidup saya, sudah pasti buku Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah yang saya tulis bersama keluarga saya inilah yang akan menjadi jawaban saya, meski saya juga menyadari bahwa setiap buku yang saya baca atau menyelipkan tulisan saya selalu membawa kesan dan kisahnya sendiri.

Buku ini menjadi istimewa bagi saya bukan hanya karena potongan epilog yang ditulis oleh seorang Ahyar Anwar (Sastrawan an Budayawan asal Sulawesi Selatan) beberapa jam sebelum kepergian beliau menghadap sang Pencipta. Buku ini merangkum ingatan-ingatan saya tentang sebuah keluarga, tentang sebuah ikatan, tentang cinta kasih yang terus bertumbuh dalam lipatan-lipatan waktu, tentang kepergian, tentang jarak, tentang rindu yang memanggil dan menjadi alasan untuk “pulang”, serta tentang mereka yang berkunjung ke Rumah Putih dan menitipkan kisah pada setiap dindingnya. Terlebih ingata-ingatan perjalan bersama sosok guru dan kawan berdiskusi “Penghuni Rumah Putih”, Almarhum Ahyar Anwar, dari beliaulah kami memetik banyak pelajaran tentang hidup dan kehidupan.

Akan tiba sebuah hari di Rumah Putih dengan hujan yang lari dari musimnya dan kami menunggumu berdiskusi di teras Rumah Putih dengan seseduh teh dan sepring pisang goreng.



#KataHati #Katahatichallenge #Katahatiproduction 



No comments:

Post a Comment