Kekasihku,
malam baru saja tiba dengan kebasan rindu yang berbeda. Wajah bulan
yang biasanya buram dan pucat, kini berkelopak merah membara. Seolah
memeluk bahagia pada satu pelukan paling rindu. Tak seperti rekahan
mawar yang merahnya mewarnai ladang hati kita dulu, yang merengkuh
gelora bahagia sambil menerka-nerka sejauh mana Tuhan menuliskan takdir
kita.
Bulan berteduh pada jubah gerhana yang memerah darah.
Entah malam bersuka memeluk gelapnya yang hampir sempurna, atau berduka tanpa pucat purnama yang setia menyimpan rahasia-rahasia yang tereja dari gelapnya yang sunyi.
Namun, bagi sepasang hati yang terikat dalam satu warna merah yang sama, ia adalah sebuah kerinduan yang menghampiri bumi.
Mata dan hatiku selalu saja takjub menatapi keajaiban Tuhan.
Ketakjubanku membanjiri jiwaku yang merapalkan doa-doa hening.
Dan aku menemukan bayanganmu di sana memeluk sebak kenanganku.
Lirih kudengar kau berbisik;
"Sayang, kau tak gemetar saat matamu memandangi keajaiban sementara jari jemarimu memetik detak jantungku."
Serasa kau menemaniku menikmati seluruh ketakjuban yang menghanyutkan seluruh rinduku padamu.
Bulan berteduh pada jubah gerhana yang memerah darah.
Entah malam bersuka memeluk gelapnya yang hampir sempurna, atau berduka tanpa pucat purnama yang setia menyimpan rahasia-rahasia yang tereja dari gelapnya yang sunyi.
Namun, bagi sepasang hati yang terikat dalam satu warna merah yang sama, ia adalah sebuah kerinduan yang menghampiri bumi.
Mata dan hatiku selalu saja takjub menatapi keajaiban Tuhan.
Ketakjubanku membanjiri jiwaku yang merapalkan doa-doa hening.
Dan aku menemukan bayanganmu di sana memeluk sebak kenanganku.
Lirih kudengar kau berbisik;
"Sayang, kau tak gemetar saat matamu memandangi keajaiban sementara jari jemarimu memetik detak jantungku."
Serasa kau menemaniku menikmati seluruh ketakjuban yang menghanyutkan seluruh rinduku padamu.
Picture By: Fajrianto Jalil |
No comments:
Post a Comment