Saturday, 7 March 2015

Sebelum Kembali Pulang

Wahai Hati
Ajarkan diri menatapi kebenaran yang lahir dari iman
Yang menyebut nama Allah sebagai pusat seluruh kebenaran yang ada
Ajarkan diri menyatukan seluruh kata pada seruan Allah agar
Hilang perbedaan antara benarku dan benarnya
Yang mewujud bukan hanya pada kata
Tetapi pada seluruh gerak laku
Tuntunlah diri ini wahai hati
Menuju satu perbuatan yang mampu menyemai kebajikan
Taatlah hanya pada Rabb yang menitipimu seluruh keberkahan
Limpahkan syukur selalu agar meruah kejernihan
di setiap ingatan padaNYA
Sebelum kembali pulang pada KemahaanNYA

Wednesday, 4 March 2015

Love and Death; The Ever Lasting Question.

Di dunia ini, ada dua hal yang tak pernah tuntas dipertanyakan. Dua hal yang kadang membawa seseorang tiba pada perenungan terdalam di dirinya hanya untuk menemukan jawaban atas dua hal yang masih menjadi misteri, sebab tak pernah menemukan jawaban yang pasti yang bisa dijadikan pijakan atas pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Dua hal yang juga kadang memabawa seseorang tiba pada kegamannya sendiri untuk berdamai pada sesuatu yang dianggap sebagai jawaban atas apa yang dipertanyakannya itu.

Cinta dan Kematian; sesungguhnya adalah dua hal yang selalu membawa seseorang tiba pada pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas hanya dengan sebuah jawaban saja.

Peranahkah seseorang bertanya, mengapa dia jatuh cinta?
Aku dan kamu tentu saja pernah terjebak pada pertanyaan itu. Kemudian, pada salah satu malam yang sunyi dan hening kita mencoba menuju hati kita yang paling sunyi dan bening untuk menemukan jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut. Kesunyian dan keheningan hati yang bening terkadang menyimpan harapan atas pertanyaan-pertanyaan yang tak sanggup dijawab oleh logika. Kesunyian dan keheningan seperti memiliki tangan-tangan ajaib yang mampu mengurai setiap kebingungan yang dibawa kehidupan ke dalam diri seseorang.

“Aku jatuh cinta padamu karena seluruh keindahan yang ada pada jiwamu mampu membuatku damai.” Sebuah suara yang dibisikkan oleh keheningan hati kita yang kita anggap sebagai jawaban terbaik untuk lepas dari peratanyaan sederhana, “Mengapa aku mencintaimu?”
Suara yang lain dari hati kita juga berkata, “padanya, Tuhan telah menitipkan takdir cintaku”, dan suara-suara yang lain pun mulai berbisik bergantian sebagai suatu alasan untuk mempertegas keragu-raguan kita sendiri yang kita sangka sebagai jawaban, yang sesungguhnya hanya menjadi pembenaran atas ketakutan-ketakutan kita dari pertanyaan yang tak akan pernah tuntas itu.

Jika seseorang tak menemukan kedamaian dari keindahan jiwa yang disemai keksaihnya, masihkah dia akan mencintainya? Atau ketika luka cinta merambati jiwanya, masihkah dia menganggap Tuhan telah meletakkan takdir cintanya itu pada seseorang yang disebutnya kekasih, atau dengan pasrah bekata bahwa takdir cintanya mungkin diletakkan pada hati yang lain yang msaih harus ia temukan?
Pada wajah cinta, ada banyak luka yang terbalut rapi oleh keindahan pandangan saja. Jika seseorang menatap pada kedalaman cinta dengan kebeningan hati dan jiwanya, maka dia akan menemukan sebuah kenyataan tentang cinta yang sesungguhnya adalah sebuah jalan menuju kematian yang indah.

Seseorang yang berada dalam cinta harus “membunuh” dirinya sendiri untuk tiba pada yang dicintainya. Dia harus mampu menggoreskan hatinya pada ketajaman rindu yang tak terikat oleh ruang dan waktu dan membiarkan dirinya hidup dalam ilusi-ilusi tentang kebahagiaan tanpa peduli seberapa dalam perih rindu itu telah menggores hantinya. Jiwa yang ada padanya harus mampu menatap kelemahan-kelemahannya sendiri setiap kali ia berkaca pada mata jiwa sang kekasih. Mungkin karena itulah, cinta menjadi tugas terberat sekaligus teragung yang dipercayakan pada manusia sebagai mahluk yang memiliki “rasa”.

Perpisahan atau kehilangan sesungguhnya adalah bagian dari wajah cinta. Meski tak ada perpisahan atau kehilangan yang  tak menyakitkan. Namun, jika seseorang mampu membaca misteri yang terangkum pada perpisahan atau kehilangan tersebut, maka ia akan tiba pada sebuah jawaban yang merujuk pada kemurnian cinta.

Andai seseorang itu pernah mengalami perpisahan atau kehilangan sosok yang menjadi penanda atas keriangannya, maka ia tentu mampu memahami betapa sayatan kehilangan itu memerah seluruh dirinya dalam ketakberdayaan yang ikhlas dan tentu saja membuka mata jiwanya untuk menatapi sebuah kenyataan tentang kedalam rindu dan cinta yang terkuak setelah perpisahan atau kehilangan tersebut. Namun, tak ada perpisahan atau kehilanagn yang paling sempurna selain sebuah kematian. Meski sesungguhnya, kematian adalah tanda cinta sang pencipta terhadap apa yang telah diciptakan dimana roh terbebas dari kungkungan jasad yang selama ini menawannya dengan berbagai drama kehidupan semu. Sungguh sebuah cinta yang membesakan. Tetapi, Jangan pernah mempertanyakan kapan kematian itu tiba. Sebab kedatangannya tak terbaca seperti kedatangan cinta yang tiba di hati seseorang dengan tiba-tiba. Dan yang pasti, Cinta dan kematian adalah sepasang kebenaran yang tidak akan pernah tuntas kita pertanyakan.

Catatan Akhir Februari

(Published: http://t.co/9G3MeFXDqg)

Di Mana Tuhan

Tuhan..
Benarkah ini alamatMu?
Mengapa hanya gelaran sajadah dan doa-doa kosong yang terhampar di sana?



(Picture By Me)