“Wahai orang-orang yang tumbuh dalam sebuah rumah dan yang memiliki rumah
di antara keluasan hatinya, berbahagialah karena kenangan telah menjelma
menjadi sajak pada setiap hati.
Sepertinya, tempat untuk melelapkan diri yang terbaik adalah pada sebuah
Rumah,
Rumah yang telah menyatu dengan hidup kita sendiri.
Rumah yang…”
Penggunaan prolog dan epilog dalam
sebuah buku pada mulanya tidak dimaksudkan untuk menjadi pengantar dan penutup
dari sebuah karya. Pasangan prolog dan epilog awalnya merupakan sisipan atau lampiran
pada karya sastra, terkhusus pada drama.
Prologos pada masa Yunani kuno
memiliki posisi yang jauh lebih penting bila dibandingkan dengan prolog di masa
modern, sebab ia berperan memberi penjelasan atas adegan-adegan yang akan
disajikan.
Prolog pada sebuah karya sastra
berisi satu atau beberapa keterangan atau pendapat penulis mengenai naskah yang
akan disajikan. Karena itu, tugas utama dari sebuah prolog adalah membeberkan
situasi dalam naskah sehingga membangkitkan minat pembaca atas isi dari naskah
tersebut.
Jika prolog menjadi pembuka, maka
penutupnya disebut epilog. Pada umumnya, epilog berisi amanat atau kesimpulan sebuah
naskah. Dari epilog inilah pembaca memetik hikmah dari sebuah naskah yang telah
disajikan penulis. Karena itu, dalam epilog pembaca akan mudah menemukan
pesan-pesan moral, tatanilai, maupun ferleksi tentang hidup dan kehidupan.
Prolog dan epilog dengan fungsinya
masing-masing tentu saja memegang peran yang penting dan berbeda dalam
penyajian sebuah karya. Karena itu, keduanya ditulis secara jelas dan tuntas
agar menjadi pelengkap dan penyempurna atas karya yang disajikan penulis.
Kutipan yang mendahului tulisan ini
adalah sebuah epilog yang menjadi lembar terakhir pada sebuah antologi puisi. Membaca
bagian “Rumah yang …” membuat kita
sadar bahwa epilog yang dituliskan belumlah selesai. Lantas mengapa dicantumkan
dalam buku tersebut?
Sebagian pembaca mungkin akan menjadi
gelisah dan mulai menerka tentang kalimat lanjutan dari epilog tersebut.
Bagaimana tidak, sehimpun puisi telah ditulis oleh tiga generasi dari sebuah
keluarga yang hidup serumah dan menyisakan sebuah epilog yang tak tuntas.
Jika seseorang datang kepada saya dan
bertanya tentang buku yang berkesan dalam hidup saya, sudah pasti buku Rumah
Putih, Antologi Puisi Serumah yang saya tulis bersama keluarga saya inilah yang
akan menjadi jawaban saya, meski saya juga menyadari bahwa setiap buku yang saya
baca atau menyelipkan tulisan saya selalu membawa kesan dan kisahnya sendiri.
Buku ini menjadi istimewa bagi saya
bukan hanya karena potongan epilog yang ditulis oleh seorang Ahyar Anwar (Sastrawan
an Budayawan asal Sulawesi Selatan) beberapa jam sebelum kepergian beliau menghadap
sang Pencipta. Buku ini merangkum ingatan-ingatan saya tentang sebuah keluarga,
tentang sebuah ikatan, tentang cinta kasih yang terus bertumbuh dalam
lipatan-lipatan waktu, tentang kepergian, tentang jarak, tentang rindu yang
memanggil dan menjadi alasan untuk “pulang”, serta tentang mereka yang
berkunjung ke Rumah Putih dan menitipkan kisah pada setiap dindingnya. Terlebih
ingata-ingatan perjalan bersama sosok guru dan kawan berdiskusi “Penghuni Rumah
Putih”, Almarhum Ahyar Anwar, dari beliaulah kami memetik banyak pelajaran
tentang hidup dan kehidupan.
Akan tiba sebuah hari di Rumah Putih dengan hujan yang lari dari musimnya dan kami menunggumu berdiskusi di teras Rumah Putih dengan seseduh teh dan sepring pisang goreng.
#KataHati #Katahatichallenge #Katahatiproduction