Sunday, 2 November 2014

Kisah Yang Terlepas

Dia berdiri di sudut malam, membaca seluruh rindu yang berdetak pada dirinya.
Matanya sebak, mengalirkan seluruh doa yang masih tersisa.
Pada sunyi yang gemuruh, dia mendengar suara-suara jiwanya berbisik tentang sepenggal cerita yang harus terlepas dari kisahnya.
Kisah yang begitu sunyi dan diam dalam ketakberdayaan.
Ia mendengar jerit hatinya yang koyak oleh rindu. Karena itu, ia membalurinya dengan kesabaran. Namun, waktu perlahan mengikis seluruh kesabaran itu dan menghempas hatinya pada sebuah kenyataan.
Kenyataan yang menawarkan luka yang lebih luka.
Jiwanya yang lembut datang menghampiri sang hati. Membisikkan nasihat sebagai penawar atas luka yang membaluri wajahnya.
Atas kepingan cerita yang harus terlepas dari kisahnya, adalah penanda atas pertemuan-pertemuan lain yang lebih sempurna. Sebab Tuhan selalu bijak atas takdir seluruh ciptaanNya; Tuhan tak pernah lupa menerbitkan matahari setelah malam berlalu.
Kepingan cerita yang dulu tiba pada kisah hidupnya sesungguhnya adalah pelengkap atas takdir yang dianugerahkan Tuhan padanya, tertulis dan terhapus dengan sebuah alasan pasti.


Picture By Me

Under The Read Moon

Kekasihku, malam baru saja tiba dengan kebasan rindu yang berbeda. Wajah bulan yang biasanya buram dan pucat, kini berkelopak merah membara. Seolah memeluk bahagia pada satu pelukan paling rindu. Tak seperti rekahan mawar yang merahnya mewarnai ladang hati kita dulu, yang merengkuh gelora bahagia sambil menerka-nerka sejauh mana Tuhan menuliskan takdir kita.

Bulan berteduh pada jubah gerhana yang memerah darah.
Entah malam bersuka memeluk gelapnya yang hampir sempurna, atau berduka tanpa pucat purnama yang setia menyimpan rahasia-rahasia yang tereja dari gelapnya yang sunyi.
Namun, bagi sepasang hati yang terikat dalam satu warna merah yang sama, ia adalah sebuah kerinduan yang menghampiri bumi.

Mata dan hatiku selalu saja takjub menatapi keajaiban Tuhan.
Ketakjubanku membanjiri jiwaku yang merapalkan doa-doa hening.
Dan aku menemukan bayanganmu di sana memeluk sebak kenanganku.
Lirih kudengar kau berbisik;
"Sayang, kau tak gemetar saat matamu memandangi keajaiban sementara jari jemarimu memetik detak jantungku."

Serasa kau menemaniku menikmati seluruh ketakjuban yang menghanyutkan seluruh rinduku padamu.


Picture By: Fajrianto Jalil

Sunday, 2 March 2014

Rumah Putih


Rumah Putih, adalah tempat memahat kenangan-kenangan yang paling sunyi dan paling hening. Jika kenanganmu mesti kau tenggelamkan di sana, maka tenggelamkanlah ia bersama sisa-sisa rindu yang masih ranum di hening jiwaku. Jika kelak langkahmu berjarak begitu jauh dari Rumah Putihku, maka cukup kisah-kisah hening yang pernah kau pahat pada setiap dindingnya yang akan menemani sunyiku di sini.
Sebab setiap dari kita harus melanjutkan langkah, meninggalkan kenangan pada sekeping, dan menuliskan kisah yang baru. Kisah yang di dalamnya mungkin tak akan ada lagi Rumah Putih, lumut Rindu, taman mawar, juga bidadari-bidadari yang setia merajut rindu pada sunyi...


Picture by: Google (Lake of House)

Senja

"Pernahkah kau melihat senja yang kehilangan gurat jingganya?
Ia seperti harapan yang tak ditudungi cahanya.
Ada luka yang mengalir dari waktu yang ia rengkuh,
ingin ia kabarkan pada malam yang buram."



Picture by: Mr. U

Nyanyian Keabadian Rindu dan Sebuah Kepulangan


“Tersenyumlah untuk Allah yang telah menciptakan perpisahan dan menitipkan rindu pada setiap hati, kerinduan itulah yang akan menunjukkan padamu sebuah jalan kecil yang agung menuju segala kenangan yang berhenti pada satu hasrat tentang dunia.”
(DR. Ahyar Anwar, 1970-2013)

Kerinduan adalah keabadian rasa yang dititpkan Tuhan dari sebuah perpisahan, sedang perpisahan adalah jalan bagi hati untuk saling menemukan. Kita tidak akan memahami keindahan sebuah kebersamaan tanpa adanya perpisahan. Dan kita tidak akan bisa mengecap manisnya kerinduan jika kita tidak pernah terpisah. Bukankah pada awalnya kita semua tidak saling mengenal, tidak saling bertemu tatap, dan tidak saling merindukan? Namun, atas keajaiban yang jatuh dari cinta Tuhan yang Maha Rahman, menyusun keindahan benih-benih kerinduan di hati kita pada sebuah takdir pertemuan. Pada takdir pertemuan itulah akan lahir kebersamaan dimana Tuhan menyusupkan kekekalan rasa yang terus tumbuh menjadi sebuah keajaiban kenangan. Dan dari keajaiban kenangan itulah keabadian rindu terjaga.
Karena itu, saat kau terpisah dari orang yang engkau kasihi, bersyukurlah! Sebab Tuhan sedang meletakkan keajaibannya dalam hatimu. Ia sedang menata hati indahmu dengan keindahan cinta yang saling menumbuhkan rasa rindu. Jikapun rindu itu terasa perih dan menyakitkan, itu hanya bagian dari bahasa keindahannya saja. Dekaplah! Dekaplah dengan segenap kelembutan rasa yang engkau miliki kemudian alirkan ia pada kebeningan air mata yang jatuh dari keindahan jiwamu. Resapi setiap perih yang engkau rasakan, maka ia pun akan jatuh pada sebuah sunyi yang hening. Dan pada sunyi yang hening itulah akan kau dapati muara dari segala rasa rindu yang merekah di hatimu. Sunyi adalah tempat sakral atas kerinduan yang saling memeluk keabadian kenangan. Ia tumbuh pada jiwa yang menjaga keindahannya seperti bulan yang menjaga keindahan malam atau matahari yang menjaga hangat siang. Keduanya saling melengkapi untuk sebuah keabadian kenangan.
Maka, jika seorang kekasih ingin merasakan nikmatnya kerinduan, ia harus masuk pada jiwanya yang sunyi dan bening. Karena pada kesunyian dan kebeningan jiwa itulah ia mampu mendengarkan suara-suara kerinduannya sendiri berbisik tentang sebuah keindahan dan rasa syukur kepada Tuhan yang terbingkai kelembutan doa karena telah menuliskan perpisahan pada takdir pertemuan mereka dan mengekalkan keabadian rindu yang nyata.
Hawa yang sejatinya adalah ibu kita, juga terlahir dari sebuah sunyi yang panjang. Allah yang Pengasih menciptakan Hawa dari kesunyian yang menyesak dari salah satu rusuk Adam. Kesunyian yang merekahkan cinta dan rindu yang bening. Keduanya kemudian bermukim di taman surga yang penuh keindahan sebelum akhirnya terpisah untuk mengecap sunyi dan rindu secara bersamaan. Mereka  diperjalankan pada sunyinya masing-masing tentu saja untuk saling merindukan. Dan dari kerinduan itulah, langkah-langkah kaki sunyi mereka menyusun sebuah pertemuan yang abadi. 
Kebeningan kerinduan itupun yang membuat seorang Rabiah Al-Adawiyah tak henti-hentinya bertasbih dan berzikir mengingat sang Kekasih sejati. Hingga ia pun sering kali dilanda ketakutan akan hal-hal lain yang akan menyeret ingatannya menjauh dari Sang Kekasih yang dirindukan. Perempuan suci ini telah melazimi sebuah sunyi yang indah. Ia bahkan menjadikan sunyi malam sebagai kendaraan yang mengantarkannya bertemu dengan sang Kekasih penggenggam jiwanya. Maka tatkala malam telah berlalu, hanya kesedihan dan kerinduanlah yang tersisa di hati heningnya.
Seperti itu pulalah Ruh yang bermukim di dalam tubuh kita, yang berasal dari sebuah keindahan sunyi dan rindu Yang Maha Rahman. Atas nama cinta yang sunyi dari Muhammad-lah sehingga Allah meniupkan cahaya kasihNya kedalam tubuh kita. Menitipkan sebuah kehidupan dan membentangkan jarak yang maha luas sebagai penakar kerinduan sang Ruh atas Kekasih sejatinya. Kelak, tatkala Ruh tak kuasa menanggung sunyinya dan Sang Kekasih tak mampu lagi menahan kerinduan atas Ruh yang telah dibiarkan terpisah dariNya, maka Dia pun akan memanggilnya pulang. Tentu saja sebuah kepulangan yang tak biasa. Melainkan sebuah kepulangan yang merengkuh segala keindahan pertemuan dan menjadi jembatan penyatuan rindu dari yang Maha Merindu. Sebuah kepulangan yang akan menghapus segala duka dan perih rindu.

Karena itu wahai jiwa-jiwa yang merindu, masuklah ke dalam sunyimu yang paling sunyi. Temukan kedamaian rindumu di sana dan kembalilah kepada Rabbmu dengan suka cita.