Saturday, 29 August 2015

Semua waktu adalah tepat untuk sebuah kata maaf.

Manusia terlahir sebagai mahluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain. Berinteraksi untuk  saling melengkapi. Kita membutuhkan seorang teman sebagai cermin atas siapa diri kita sebenarnya, kita memiliki seorang sahabat sebagai sosok yang kita percaya untuk berbagi segala suka dan duka yang terkadang enggan kita ceritakan pada orang lain, kita dipertemukan dengan seseorang yang kita sebut kekasih agar kita bisa belajar memahami dan memberi perlindungan atas apa yang kita kasihi, dan sebuah keluarga sebagai tempat kita mencurahkan dan memperoleh semua kebahagiaan yang kita inginkan sebagai pelengkap ibadah kita ke padaNya.

 

Namun terkadang, kita menyakiti perasaan mereka. Kita membuat mereka bersedih sampai meneteskan air mata. Entah kita sadari ataupun tidak. Keegoisan adakalanya mendominasi hati kita. Meski hati menyadari kesalahan yang telah diperbuat, namun sang bibir masih saja enggan mengucapkan satu kata “MAAF”. Kita terlalu naïf menjadi seorang manusia yang begitu keras menjaga harga diri. Rasa kita abaikan, bisikan kebaikan Tuhan pada nurani kita acuhkan.

 

Menunggu waktu yang tepat untuk sebuah kata maaf yang tulus dari hati terkadang jadi alasan, hingga akhirnya orang-orang yang kita sayangi berlahan melangkah, menjauh meninggalkan kita dalam penyesalan yang tanpa batas. Bukan salah mereka. Keangkuhan kitalah yang dengan sengaja menciptakan hubungan yang kaku hingga mereka pergi.

 

Mengapa kesombongan, keangkuhan, dan egoisme yang mesti kita pertahankan jika pada akhirnya penyesalan merajalela dalam batin kita? Bayangkan, jika kita kehilangan hari esok untuk memulai kebaikan yang tulus. Saat Tuhan mengambil semua waktu yang kita punya untuk menyadari kesalahan-kesalahan kita, saat Tuhan mengambil orang-orang yang kita kasihi untuk selamanya.

Karena itu, kita  harus belajar mendengar, meminta dan memberi maaf sebelum Tuhan mengambil semua waktu yang Dia pinjamkan ke pada kita.

 

Kepada Susan D.

Terimakasih telah menginspirasi.

Surat Untuk Yumna


Kepada Aqilah Yumna Ar-Rizal, Cucu ketiga di Rumah Putih

Hari ini, 19 Mei 2015, usiamu genap 1 tahun.

Tidak mudah bagimu untuk tiba di usia ini sayang. Namun berkat limpahan cinta Allah yang tumbuh melalui doa-doa yang tiada henti dari semua orang yang mencintaimu, menjadi berkah bagimu.

Yumna sayang,
Setahun yang lalu, di pagi hari yang cerah, tangismu menjadi jawaban atas penantian panjang ayah dan bundamu. Ada banyak rasa khawatir yang berderai bersama air mata bahagia mereka ketika mendengar tangismu pecah memecah sunyi. Bundamu telah berjuang mempertaruhkan hidup agar kau bisa terlahir dengan proses normal, bukan untuk melengkapi keberadaannya sebagai wanita melainkan untuk sebuah kehidupan baru di Rumah Putih. Untuk dirimu.

Aku memang tidak menyaksikan proses kelahiranmu, tetapi aku tahu betapa sempurnanya bundamu merasakan "sakit" dan betapa hebatnya dia berjuang untuk dirimu sayang. Kau tentu boleh menanyakan hal itu kepada nenek yang menemani bundamu saat itu.

Yumna sayang,
Satu tahun kau bertumbuh. Di awal usimu yang beberapa bulan, kau pernah membuat kami khawatir. Detak jantungmu tiba-tiba melemah. Kata dokter yang memeriksa kondisimu saat itu, kau harus menjalani perawatan khusus di rumah sakit.

Tak banyak perubahan setelah perawatan yang kau jalani selama beberapa hari itu sehingga ayah dan bundamu memutuskan untuk melanjutkan perawatanmu di kota tempatku saat ini menuliskan surat untukmu. Kakek turut menemanimu saat itu. Sebab hanya kakek satu-satunya yang mampu redakan tangismu dan menenangkanmu dalam pelukannya hingga kau tertidur.

Yumna sayang,
Beberapa orang di sekitarmu mungkin saja tak senang akan beberapa hal yang ada padamu. Tetapi kau tak perlu menghiraukan kata mereka tentang dirimu. Biarkan caci, maki, atau hujatan apa pun yang mereka lontarkan padamu menjadi jembatan keberkahan atas segala hal yang dititipkan Allah padamu. Bersyukurlah sayang, sebab hal itu akan membuat hatimu kuat dan bijak serta mengajarkan padamu tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Jangan pernah sisipkan kebencian di hatimu sedikit pun karena Rumah Putih tak mengajarkan itu padamu. Kau adalah keberkahan di Rumah Putih, karena itu kau harus merawat cinta yang kami berikan padamu.

Yumna,
Tak banyak yang bisa kutuliskan padamu. Semoga kau tumbuh dengan limpahan berkah dari Allah.

Ingatlah nak, kelak jika kau besar nanti, jadilah dirimu yang apa adanya saja. Dengan itu, aku akan selalu membanggakanmu.


Salam Cinta,
Tante Cici






How I envy your smile my dearest Chaca

Picture by Me

Pesan Rindu Pada Sunyi

Mengutip Rumi:
"Kesunyian adalah bahasa Tuhan, selebihnya hanyalah terjemahan yang buruk".
Mungkin karena itulah para pecinta menuliskan pesan-pesan rindunya pada Sunyi agar membawa serta bahasa Tuhan tiba pada hati sang Kekasih.

Waktu yang Menyematkan Kenangan

Barangkali kita harus berbaik-baik pada waktu yang menyematkan banyak kenangan dalam ingatan kita.
Sebab nanti,
ketika waktu telah jauh meninggalkan kita, kenangan-kenangan yang disematkannya itulah yang akan menemani kita menikmati sunyi dengan senyum dan tawa yang sesekali mengambang di bibir kita yang mungkin tak lagi fasih untuk saling menyebut nama.

Waktu dan Perpisahan

Tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk sebuah perpisahan sekalipun seseorang berkata telah mempersiapkannya.
Dan setiap perpisahan,
Tentu saja akan selalu menorehkan luka,
Entah pada yang meninggalkan atau yang ditinggalkan.
Bukankah hakikat pertemuan itu terletak pada perpisahan?

Berterimakasihlah

Berterimakasihlah pada mereka yang membuat kita dihinggapi rasa bersalah.
Dari merekalah sebenarnya kita belajar melihat kesalahan-kesalahan kecil yang sering kali kita abaikan,
Bukan karena ukurannya yang teramat kecil yang membuatnya terabaikan hingga tak terlihat,
Tetapi karena ego kita terlampau tinggi melampaui kebaikan-kebaikan yang mungkin terlihat dengan sebuah kata maaf.

Sebab Kematian Bukanlah Apa-apa

Jangan berdiri di atas pusaraku dan mengucurkan air mata
Sebab aku tak sedang di sana
Mungkin aku telah terbawa hembusan angin
Yang menenangkanmu di pagi hari
Atau menyesap ke dalam embun
sebelum matahari beranjak menemui pagi

Jangan berdiri di atas pusaraku dan mengucurkan air mata
Sebab aku tak sedang tidur di sana
Mungkin aku telah menjadi pekat pada malam
Yang menudungimu dari cahaya purnama,
Menemanimu membaca sunyi yang paling sunyi
Atau aku telah menetes bersama derai hujan yang sendu,
Memerecik pada wajahmu dan menyeka duka dari matamu yang sebak

Jangan berdiri di atas pusaraku
Sebab kematian bukanlah apa-apa setelah kita mengecap syukur dalam kefanaan dunia


Makassar, 29 Nonember 2014