Sunday, 18 October 2015

Kekasih

Seorang kekasih mungkin adalah seseorang  yang menghabiskan separuh waktu dalam hidupnya untuk mencintaimu, menjaga senyumanmu agar tetap merekah dan menadah air matamu ketika harus menetes. Meminjamkan bahunya saat kau merasa lelah dan berlari kearahmu saat kau merasa terluka.

Seorang kekasih mungkin juga adalah seseorang yang masih berjuang untuk mendapatkan tempat yang layak di hatimu sehingga ia layak untuk kau sebut kekasih, layak untuk kau genggam tangannya atau layak untuk kau tunjukkan kepada dunia. Seseorang yang bejuang mengumpulkan banyak “kelayakan” untuk kau banggakan.

Seorang kekasih mungkin pula adalah ia yang pernah membuat air matamu mengalir tanpa jeda, menorehkan luka bahkan benci yang meluapkan amarah dalam hatimu. Seseorang yang tiba-tiba menjadi musuh yang tak kau beri ruang untuk merasakan kebahagiaan.


Namun, pernahkah kau menemukan seseorang yang mampu mengalirkan sunyi ke dalam hatimu bahkan ketika kau berada dalam keramaian; mengajakmu mengarungi samudra rindu yang meski dengan ribuan ombak namun jiwamu menyambutnya dengan suka cita; membuatmu tertawa, menangis, bahagia, dan terluka sekaligus namun kau tetap merasa nyaman bersamanya? Jika jawabanya adalah ‘Iya’, maka dialah yang mungkin paling  pantas kau sebut kekasih.

picture by: Mr. U

Saturday, 29 August 2015

Semua waktu adalah tepat untuk sebuah kata maaf.

Manusia terlahir sebagai mahluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain. Berinteraksi untuk  saling melengkapi. Kita membutuhkan seorang teman sebagai cermin atas siapa diri kita sebenarnya, kita memiliki seorang sahabat sebagai sosok yang kita percaya untuk berbagi segala suka dan duka yang terkadang enggan kita ceritakan pada orang lain, kita dipertemukan dengan seseorang yang kita sebut kekasih agar kita bisa belajar memahami dan memberi perlindungan atas apa yang kita kasihi, dan sebuah keluarga sebagai tempat kita mencurahkan dan memperoleh semua kebahagiaan yang kita inginkan sebagai pelengkap ibadah kita ke padaNya.

 

Namun terkadang, kita menyakiti perasaan mereka. Kita membuat mereka bersedih sampai meneteskan air mata. Entah kita sadari ataupun tidak. Keegoisan adakalanya mendominasi hati kita. Meski hati menyadari kesalahan yang telah diperbuat, namun sang bibir masih saja enggan mengucapkan satu kata “MAAF”. Kita terlalu naïf menjadi seorang manusia yang begitu keras menjaga harga diri. Rasa kita abaikan, bisikan kebaikan Tuhan pada nurani kita acuhkan.

 

Menunggu waktu yang tepat untuk sebuah kata maaf yang tulus dari hati terkadang jadi alasan, hingga akhirnya orang-orang yang kita sayangi berlahan melangkah, menjauh meninggalkan kita dalam penyesalan yang tanpa batas. Bukan salah mereka. Keangkuhan kitalah yang dengan sengaja menciptakan hubungan yang kaku hingga mereka pergi.

 

Mengapa kesombongan, keangkuhan, dan egoisme yang mesti kita pertahankan jika pada akhirnya penyesalan merajalela dalam batin kita? Bayangkan, jika kita kehilangan hari esok untuk memulai kebaikan yang tulus. Saat Tuhan mengambil semua waktu yang kita punya untuk menyadari kesalahan-kesalahan kita, saat Tuhan mengambil orang-orang yang kita kasihi untuk selamanya.

Karena itu, kita  harus belajar mendengar, meminta dan memberi maaf sebelum Tuhan mengambil semua waktu yang Dia pinjamkan ke pada kita.

 

Kepada Susan D.

Terimakasih telah menginspirasi.

Surat Untuk Yumna


Kepada Aqilah Yumna Ar-Rizal, Cucu ketiga di Rumah Putih

Hari ini, 19 Mei 2015, usiamu genap 1 tahun.

Tidak mudah bagimu untuk tiba di usia ini sayang. Namun berkat limpahan cinta Allah yang tumbuh melalui doa-doa yang tiada henti dari semua orang yang mencintaimu, menjadi berkah bagimu.

Yumna sayang,
Setahun yang lalu, di pagi hari yang cerah, tangismu menjadi jawaban atas penantian panjang ayah dan bundamu. Ada banyak rasa khawatir yang berderai bersama air mata bahagia mereka ketika mendengar tangismu pecah memecah sunyi. Bundamu telah berjuang mempertaruhkan hidup agar kau bisa terlahir dengan proses normal, bukan untuk melengkapi keberadaannya sebagai wanita melainkan untuk sebuah kehidupan baru di Rumah Putih. Untuk dirimu.

Aku memang tidak menyaksikan proses kelahiranmu, tetapi aku tahu betapa sempurnanya bundamu merasakan "sakit" dan betapa hebatnya dia berjuang untuk dirimu sayang. Kau tentu boleh menanyakan hal itu kepada nenek yang menemani bundamu saat itu.

Yumna sayang,
Satu tahun kau bertumbuh. Di awal usimu yang beberapa bulan, kau pernah membuat kami khawatir. Detak jantungmu tiba-tiba melemah. Kata dokter yang memeriksa kondisimu saat itu, kau harus menjalani perawatan khusus di rumah sakit.

Tak banyak perubahan setelah perawatan yang kau jalani selama beberapa hari itu sehingga ayah dan bundamu memutuskan untuk melanjutkan perawatanmu di kota tempatku saat ini menuliskan surat untukmu. Kakek turut menemanimu saat itu. Sebab hanya kakek satu-satunya yang mampu redakan tangismu dan menenangkanmu dalam pelukannya hingga kau tertidur.

Yumna sayang,
Beberapa orang di sekitarmu mungkin saja tak senang akan beberapa hal yang ada padamu. Tetapi kau tak perlu menghiraukan kata mereka tentang dirimu. Biarkan caci, maki, atau hujatan apa pun yang mereka lontarkan padamu menjadi jembatan keberkahan atas segala hal yang dititipkan Allah padamu. Bersyukurlah sayang, sebab hal itu akan membuat hatimu kuat dan bijak serta mengajarkan padamu tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Jangan pernah sisipkan kebencian di hatimu sedikit pun karena Rumah Putih tak mengajarkan itu padamu. Kau adalah keberkahan di Rumah Putih, karena itu kau harus merawat cinta yang kami berikan padamu.

Yumna,
Tak banyak yang bisa kutuliskan padamu. Semoga kau tumbuh dengan limpahan berkah dari Allah.

Ingatlah nak, kelak jika kau besar nanti, jadilah dirimu yang apa adanya saja. Dengan itu, aku akan selalu membanggakanmu.


Salam Cinta,
Tante Cici






How I envy your smile my dearest Chaca

Picture by Me

Pesan Rindu Pada Sunyi

Mengutip Rumi:
"Kesunyian adalah bahasa Tuhan, selebihnya hanyalah terjemahan yang buruk".
Mungkin karena itulah para pecinta menuliskan pesan-pesan rindunya pada Sunyi agar membawa serta bahasa Tuhan tiba pada hati sang Kekasih.

Waktu yang Menyematkan Kenangan

Barangkali kita harus berbaik-baik pada waktu yang menyematkan banyak kenangan dalam ingatan kita.
Sebab nanti,
ketika waktu telah jauh meninggalkan kita, kenangan-kenangan yang disematkannya itulah yang akan menemani kita menikmati sunyi dengan senyum dan tawa yang sesekali mengambang di bibir kita yang mungkin tak lagi fasih untuk saling menyebut nama.

Waktu dan Perpisahan

Tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk sebuah perpisahan sekalipun seseorang berkata telah mempersiapkannya.
Dan setiap perpisahan,
Tentu saja akan selalu menorehkan luka,
Entah pada yang meninggalkan atau yang ditinggalkan.
Bukankah hakikat pertemuan itu terletak pada perpisahan?

Berterimakasihlah

Berterimakasihlah pada mereka yang membuat kita dihinggapi rasa bersalah.
Dari merekalah sebenarnya kita belajar melihat kesalahan-kesalahan kecil yang sering kali kita abaikan,
Bukan karena ukurannya yang teramat kecil yang membuatnya terabaikan hingga tak terlihat,
Tetapi karena ego kita terlampau tinggi melampaui kebaikan-kebaikan yang mungkin terlihat dengan sebuah kata maaf.

Sebab Kematian Bukanlah Apa-apa

Jangan berdiri di atas pusaraku dan mengucurkan air mata
Sebab aku tak sedang di sana
Mungkin aku telah terbawa hembusan angin
Yang menenangkanmu di pagi hari
Atau menyesap ke dalam embun
sebelum matahari beranjak menemui pagi

Jangan berdiri di atas pusaraku dan mengucurkan air mata
Sebab aku tak sedang tidur di sana
Mungkin aku telah menjadi pekat pada malam
Yang menudungimu dari cahaya purnama,
Menemanimu membaca sunyi yang paling sunyi
Atau aku telah menetes bersama derai hujan yang sendu,
Memerecik pada wajahmu dan menyeka duka dari matamu yang sebak

Jangan berdiri di atas pusaraku
Sebab kematian bukanlah apa-apa setelah kita mengecap syukur dalam kefanaan dunia


Makassar, 29 Nonember 2014

Saturday, 7 March 2015

Sebelum Kembali Pulang

Wahai Hati
Ajarkan diri menatapi kebenaran yang lahir dari iman
Yang menyebut nama Allah sebagai pusat seluruh kebenaran yang ada
Ajarkan diri menyatukan seluruh kata pada seruan Allah agar
Hilang perbedaan antara benarku dan benarnya
Yang mewujud bukan hanya pada kata
Tetapi pada seluruh gerak laku
Tuntunlah diri ini wahai hati
Menuju satu perbuatan yang mampu menyemai kebajikan
Taatlah hanya pada Rabb yang menitipimu seluruh keberkahan
Limpahkan syukur selalu agar meruah kejernihan
di setiap ingatan padaNYA
Sebelum kembali pulang pada KemahaanNYA

Wednesday, 4 March 2015

Love and Death; The Ever Lasting Question.

Di dunia ini, ada dua hal yang tak pernah tuntas dipertanyakan. Dua hal yang kadang membawa seseorang tiba pada perenungan terdalam di dirinya hanya untuk menemukan jawaban atas dua hal yang masih menjadi misteri, sebab tak pernah menemukan jawaban yang pasti yang bisa dijadikan pijakan atas pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Dua hal yang juga kadang memabawa seseorang tiba pada kegamannya sendiri untuk berdamai pada sesuatu yang dianggap sebagai jawaban atas apa yang dipertanyakannya itu.

Cinta dan Kematian; sesungguhnya adalah dua hal yang selalu membawa seseorang tiba pada pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas hanya dengan sebuah jawaban saja.

Peranahkah seseorang bertanya, mengapa dia jatuh cinta?
Aku dan kamu tentu saja pernah terjebak pada pertanyaan itu. Kemudian, pada salah satu malam yang sunyi dan hening kita mencoba menuju hati kita yang paling sunyi dan bening untuk menemukan jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut. Kesunyian dan keheningan hati yang bening terkadang menyimpan harapan atas pertanyaan-pertanyaan yang tak sanggup dijawab oleh logika. Kesunyian dan keheningan seperti memiliki tangan-tangan ajaib yang mampu mengurai setiap kebingungan yang dibawa kehidupan ke dalam diri seseorang.

“Aku jatuh cinta padamu karena seluruh keindahan yang ada pada jiwamu mampu membuatku damai.” Sebuah suara yang dibisikkan oleh keheningan hati kita yang kita anggap sebagai jawaban terbaik untuk lepas dari peratanyaan sederhana, “Mengapa aku mencintaimu?”
Suara yang lain dari hati kita juga berkata, “padanya, Tuhan telah menitipkan takdir cintaku”, dan suara-suara yang lain pun mulai berbisik bergantian sebagai suatu alasan untuk mempertegas keragu-raguan kita sendiri yang kita sangka sebagai jawaban, yang sesungguhnya hanya menjadi pembenaran atas ketakutan-ketakutan kita dari pertanyaan yang tak akan pernah tuntas itu.

Jika seseorang tak menemukan kedamaian dari keindahan jiwa yang disemai keksaihnya, masihkah dia akan mencintainya? Atau ketika luka cinta merambati jiwanya, masihkah dia menganggap Tuhan telah meletakkan takdir cintanya itu pada seseorang yang disebutnya kekasih, atau dengan pasrah bekata bahwa takdir cintanya mungkin diletakkan pada hati yang lain yang msaih harus ia temukan?
Pada wajah cinta, ada banyak luka yang terbalut rapi oleh keindahan pandangan saja. Jika seseorang menatap pada kedalaman cinta dengan kebeningan hati dan jiwanya, maka dia akan menemukan sebuah kenyataan tentang cinta yang sesungguhnya adalah sebuah jalan menuju kematian yang indah.

Seseorang yang berada dalam cinta harus “membunuh” dirinya sendiri untuk tiba pada yang dicintainya. Dia harus mampu menggoreskan hatinya pada ketajaman rindu yang tak terikat oleh ruang dan waktu dan membiarkan dirinya hidup dalam ilusi-ilusi tentang kebahagiaan tanpa peduli seberapa dalam perih rindu itu telah menggores hantinya. Jiwa yang ada padanya harus mampu menatap kelemahan-kelemahannya sendiri setiap kali ia berkaca pada mata jiwa sang kekasih. Mungkin karena itulah, cinta menjadi tugas terberat sekaligus teragung yang dipercayakan pada manusia sebagai mahluk yang memiliki “rasa”.

Perpisahan atau kehilangan sesungguhnya adalah bagian dari wajah cinta. Meski tak ada perpisahan atau kehilangan yang  tak menyakitkan. Namun, jika seseorang mampu membaca misteri yang terangkum pada perpisahan atau kehilangan tersebut, maka ia akan tiba pada sebuah jawaban yang merujuk pada kemurnian cinta.

Andai seseorang itu pernah mengalami perpisahan atau kehilangan sosok yang menjadi penanda atas keriangannya, maka ia tentu mampu memahami betapa sayatan kehilangan itu memerah seluruh dirinya dalam ketakberdayaan yang ikhlas dan tentu saja membuka mata jiwanya untuk menatapi sebuah kenyataan tentang kedalam rindu dan cinta yang terkuak setelah perpisahan atau kehilangan tersebut. Namun, tak ada perpisahan atau kehilanagn yang paling sempurna selain sebuah kematian. Meski sesungguhnya, kematian adalah tanda cinta sang pencipta terhadap apa yang telah diciptakan dimana roh terbebas dari kungkungan jasad yang selama ini menawannya dengan berbagai drama kehidupan semu. Sungguh sebuah cinta yang membesakan. Tetapi, Jangan pernah mempertanyakan kapan kematian itu tiba. Sebab kedatangannya tak terbaca seperti kedatangan cinta yang tiba di hati seseorang dengan tiba-tiba. Dan yang pasti, Cinta dan kematian adalah sepasang kebenaran yang tidak akan pernah tuntas kita pertanyakan.

Catatan Akhir Februari

(Published: http://t.co/9G3MeFXDqg)

Di Mana Tuhan

Tuhan..
Benarkah ini alamatMu?
Mengapa hanya gelaran sajadah dan doa-doa kosong yang terhampar di sana?



(Picture By Me)




Friday, 9 January 2015

The Man I Call Father

He is the only man that I do adore in my life
He always stays in my side
In my joy and sorrow
He keeps me save. . .

He was the only man who dressed me up when I was a little girl
Combed my hair
Tied my shoes
And drove me to school
He never tired. . .

Sometimes,
He sang me songs
Played me music
Read me tales
He made me laugh. . .

Now, in his old age
There still thousands loves in his eyes
Thousands hopes and prays go along with me in my every single step
He never bored with me. . .

He is the man who I call "FATHER"

                                                                                          (Dedicated to My beloved Father)

(Picture By: google)